BLANTERORBITv102

PART 3

Friday, November 1, 2019
Masa-masa ujian sekolah telah lewat, serangkaian tes masuk perguruan tinggi juga sudah kulewati. Bersisa hari-hari libur saat menunggu pengumuman kelulusan. Aku memanfaatkan hari libur untuk ikut melaut bersama ayah. Melewatkan malam-malam di lautan hingga pagi menjelang. Menikmati belaian ombak dan angin laut dan berjibaku dengan jaring setiap kali ayah melemparkannya. Saat-saat seperti ini akan menjadi kenangan tak terlupakan. Saat dimana aku dan ayah hanya berdua saja, menikmati waktu sebagai lelaki sejati. Aku belajar banyak hal dari ayah tentang bagaimana membaca dan berbicara dengan alam. Tahu bagaimana bersikap saat mengambil hasil alam dengan benar dan tidak serakah.
***
Aku masih nyenyak tidur saat Mariam menggedor-gedor kamarku. Membangunkan tidur yang masih setengah jalan.  Menyerahkan sepucuk surat dari sekolah dan ikut duduk menungguku membuka amplop itu. Ada keterangan lulus di kertas yang ada di dalamnya. Aku bersujud syukur langsung di depan Mariam. Penantianku terbayar satu, tinggal menunggu pengumuman diterima atau tidak di universitas yang aku pilih. Masih sekitar seminggu lagi. Mariam tersenyum mengejek melihat tingkahku. Aku cuek saja, dia belum tahu bagaimana susahnya ujian nasional. Nanti kalau sudah waktunya, akan aku ejek balik Mariam saat mengikuti ujian nasional.

Sampai seminggu kemudian aku mendapatkan kabar yang membuat hidupku serasa ambruk. Di papan pengumuman kelulusan masuk universitas tidak tercantum namaku. Baik untuk pilihan pertama ataupun kedua. Aku pulang dengan wajah tertekuk. Kecewa. Begitu besarnya keinginanku, usahaku ternyata hanya sia-sia saja. Lalu apa yang akan kukatakan pada ayah tentang ini. Aku malu sekali.
***
“Sudah pulang, Pang? Bagaimana hasilnya?”, ayah yang melihat kedatanganku langsung berdiri menyambut. Aku hanya bisa menggeleng. Dan kulihat raut kecewa di wajah ayah.

Aku bergegas beranjak dari sana. Masuk ke dalam kamar, tak tega dengan wajah ayah, pun juga kecewa pada diri sendiri. Dengan usahaku yang sedemikian rupa saja belum mampu menembus perguruan tinggi yang aku inginkan. Aku pejamkan mata rapat, mengusir segala gundah.

Berhari-hari aku hanya berdiam diri, entah itu dalam kamar atau di pinggir pantai. Aku tak lagi menemani ayah melaut ataupun mengerjakan tugas rumah. Jangan tanya tentang kerajinan tangan, sudah kulupakan. Aku hanya menghabiskan waktu menyesali kebodohanku. Bahkan Mariam pun tak luput dari kediamanku. Dia jadi sering ngomel sendiri karenaku yang tak mau membantunya membereskan rumah.
***
Ayah memanggilku suatu malam, setelah berhari-hari aku hanya diam seperti seonggok batu. Memintaku mengikutinya ke laut, menuju perahu yang tertambat di pinggir pantai.

“Pang, mau sampai kapan kamu diam saja seperti ini?”, ayah bertanya padaku setelah sebelumnya mencari tempat yang enak dalam perahunya.

Aku diam tak berani memandangnya. Beberapa jeda kosong kubiarkan untuk menikmati semilir angin malam. Jujur sebenarnya aku malu pada ayah, dan malu pada diriku sendiri. Takut akan omongan teman-teman. Sindiran dari banyak pihak. Juga bingung mau apa setelah ini. Aku bahkan tidak punya rencana kedua, karena saking optimisnya bisa masuk ke universitas.

“Masalah itu diantarkan ke kita biar kita bisa berfikir dan bertindak sesuai fitrah kita sebagai manusia, kalau kamu selalu saja lurus tanpa masalah, kamu nggak akan bisa menjadi manusia”, ayah bergumam di sebelahku.

Etta tahu persis kamu, anak Etta tidak akan berhenti hanya karena satu masalah. Bukankah kamu ini anak Bugis?, anak Bugis akan terus maju apapun yang terjadi. Berhenti meratapi kegagalan, sudah saatnya kamu bangkit kembali. Mungkin saat ini bukan waktumu. Buatlah menjadi lain kali”, ayah menepuk bahuku pelan dan meninggalkannku sendiri di atas perahu yang terombang-ambing ombak.

Kutatap punggung ayah saat menjauh. Berkelebat berbagai hal dalam benakku. benar kata ayah, aku harus bangkit. Melempar jauh keterpurukan yang mengungkung. Mimpiku masih sama seperti dulu. Kalau tidak hari ini, maka akan kukejar esok hari. Kembali aku mengepalkan tangan menyemai harapan.


Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students