Masa-masa ujian sekolah telah lewat,
serangkaian tes masuk perguruan tinggi juga sudah kulewati. Bersisa hari-hari
libur saat menunggu pengumuman kelulusan. Aku memanfaatkan hari libur untuk
ikut melaut bersama ayah. Melewatkan malam-malam di lautan hingga pagi
menjelang. Menikmati belaian ombak dan angin laut dan berjibaku dengan jaring
setiap kali ayah melemparkannya. Saat-saat seperti ini akan menjadi kenangan
tak terlupakan. Saat dimana aku dan ayah hanya berdua saja, menikmati waktu
sebagai lelaki sejati. Aku belajar banyak hal dari ayah tentang bagaimana
membaca dan berbicara dengan alam. Tahu bagaimana bersikap saat mengambil hasil
alam dengan benar dan tidak serakah.
***
Aku masih nyenyak tidur saat Mariam
menggedor-gedor kamarku. Membangunkan tidur yang masih setengah jalan. Menyerahkan sepucuk surat dari sekolah dan
ikut duduk menungguku membuka amplop itu. Ada keterangan lulus di kertas yang
ada di dalamnya. Aku bersujud syukur langsung di depan Mariam. Penantianku terbayar
satu, tinggal menunggu pengumuman diterima atau tidak di universitas yang aku
pilih. Masih sekitar seminggu lagi. Mariam tersenyum mengejek melihat
tingkahku. Aku cuek saja, dia belum tahu bagaimana susahnya ujian nasional. Nanti
kalau sudah waktunya, akan aku ejek balik Mariam saat mengikuti ujian nasional.
Sampai seminggu kemudian aku mendapatkan
kabar yang membuat hidupku serasa ambruk. Di papan pengumuman kelulusan masuk
universitas tidak tercantum namaku. Baik untuk pilihan pertama ataupun kedua. Aku
pulang dengan wajah tertekuk. Kecewa. Begitu besarnya keinginanku, usahaku
ternyata hanya sia-sia saja. Lalu apa yang akan kukatakan pada ayah tentang
ini. Aku malu sekali.
***
“Sudah pulang, Pang? Bagaimana hasilnya?”,
ayah yang melihat kedatanganku langsung berdiri menyambut. Aku hanya bisa
menggeleng. Dan kulihat raut kecewa di wajah ayah.
Aku bergegas beranjak dari sana. Masuk ke
dalam kamar, tak tega dengan wajah ayah, pun juga kecewa pada diri sendiri. Dengan
usahaku yang sedemikian rupa saja belum mampu menembus perguruan tinggi yang
aku inginkan. Aku pejamkan mata rapat, mengusir segala gundah.
Berhari-hari aku hanya berdiam diri, entah
itu dalam kamar atau di pinggir pantai. Aku tak lagi menemani ayah melaut
ataupun mengerjakan tugas rumah. Jangan tanya tentang kerajinan tangan, sudah
kulupakan. Aku hanya menghabiskan waktu menyesali kebodohanku. Bahkan Mariam
pun tak luput dari kediamanku. Dia jadi sering ngomel sendiri karenaku yang tak
mau membantunya membereskan rumah.
***
Ayah memanggilku suatu malam, setelah
berhari-hari aku hanya diam seperti seonggok batu. Memintaku mengikutinya ke
laut, menuju perahu yang tertambat di pinggir pantai.
“Pang, mau sampai kapan kamu diam saja
seperti ini?”, ayah bertanya padaku setelah sebelumnya mencari tempat yang enak
dalam perahunya.
Aku diam tak berani memandangnya. Beberapa jeda
kosong kubiarkan untuk menikmati semilir angin malam. Jujur sebenarnya aku malu
pada ayah, dan malu pada diriku sendiri. Takut akan omongan teman-teman. Sindiran
dari banyak pihak. Juga bingung mau apa setelah ini. Aku bahkan tidak punya
rencana kedua, karena saking optimisnya bisa masuk ke universitas.
“Masalah itu diantarkan ke kita biar kita
bisa berfikir dan bertindak sesuai fitrah kita sebagai manusia, kalau kamu
selalu saja lurus tanpa masalah, kamu nggak akan bisa menjadi manusia”, ayah
bergumam di sebelahku.
“Etta
tahu persis kamu, anak Etta tidak
akan berhenti hanya karena satu masalah. Bukankah kamu ini anak Bugis?, anak Bugis akan terus maju apapun yang terjadi. Berhenti meratapi kegagalan, sudah saatnya
kamu bangkit kembali. Mungkin saat ini bukan waktumu. Buatlah menjadi lain kali”,
ayah menepuk bahuku pelan dan meninggalkannku sendiri di atas perahu yang
terombang-ambing ombak.
Kutatap punggung ayah saat menjauh. Berkelebat berbagai hal dalam benakku. benar kata ayah, aku harus bangkit. Melempar jauh keterpurukan yang mengungkung. Mimpiku masih sama seperti dulu. Kalau tidak hari ini, maka akan kukejar esok hari. Kembali aku mengepalkan tangan menyemai harapan.
Fighting😇
ReplyDelete