BLANTERORBITv102

PART 2

Wednesday, October 30, 2019
Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah, bingung harus memulai berbicara dengan Etta. Aku sudah kelas 3 SMK sekarang, sudah masuk semester genap dan mulai disibukkan dengan ujian-ujian yang beruntun. Jadwalku membantu ayah tetap terlaksana, hanya saja waktu untuk membuat berbagai macam kerajinan untuk menambah tabungan otomatis sangat berkurang karena banyaknya bimbel dan waktu ekstra yang kutambahkan untuk belajar. Sudah saatnya aku bilang pada ayah tentang rencanaku melanjutkan kuliah.

Aku sudah jauh hari mencari informasi tentang jurusan yang ingin aku ambil saat kuliah nanti. Memilih universitas yang memiliki kualitas yang baik untu jurusan itu sampai berapa biaya kuliah disana. Targetku kuliah hanya 3,5 tahun. Kupercepat untuk menghemat biaya. Aku memutuskan untuk mengambil jurusan ilmu komunikasi untuk mendukung keinginanku menjelajah dunia. Targetku bisa masuk jajaran pegawai elit kedutaan besar di berbagai negara. Untuk alasan itu aku banyak berlatih macam-macam bahasa dari buku yang kupinjam dari perpustakaan ataupun lewat media sosial.

Ayah kulihat sedang sibuk menyiapkan makanan untuk kami bertiga. Ikan masih dalam penggorengan dan sebuah panci menggelegak berisi rebusan kangkung yang akan dibuat sayur asem. Ayah sedang mengupas bawang, mungkin untuk dibuat sambal. Perlahan kudekati ayah.

“Ada yang bisa Ippang bantu, Etta?”, aku mengambil tempat di sebelah ayah, membalik ikan yang ada di wajan.

“Ya sudah kamu goreng saja ikan-ikan itu. Adikmu sudah tidur?”, ayah kembali meneruskan membuat sambal yang nanti akan digoreng selepas menggoreng ikan.

Aku mengangguk, lalu terdiam. Kembali ragu dengan apa yang mau aku bicarakan pada ayah. Aku lantas menyibukkan diri menggoreng ikan dan sesekali mengecek kangkung apakah sudah matang atau belum. Kami sama-sama diam dengan kesibukan masing-masing.

“Ada masalah?”, tepukan ayah di bahu mengejutkanku dan hampir saja membuat ikan yang kugoreng terpental dari wajan.

Etta tahu ada yang mengganjal di pikiranmu, tidak biasanya kamu malam-malam begini membantu Etta di dapur, coba katakan, Etta siap mendengarkan”, Ayah yang selesai mengulek sambal beranjak duduk di salah satu bale bambu yang ada di tepi dapur. Aku mengikuti ayah setelah mengangkat ikan dari penggorengan dan mematikan kompor.

“Ippang berencana mau melanjutkan kuliah selepas SMK nanti, Ippang sudah mencari informasi tentang bagaimana kuliah di universitas dan biayanya, apa Etta mau mengijinkan Ippang pergi?”, kata-kata terlepas dari bibirku, namun aku tak kuasa menatap ayah yang selama ini banting tulang mengasuhku.

Ayah menghela nafas perlahan. Kulihat matanya nanar menatap kejauhan. Beban berat seolah tertimpa begitu saja setelah kata-kata meluncur dari bibirku. Lama tak ada tanggapan dari ayah, akupun tak berani menyela. Kami sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama.

“Sebenarnya Etta juga sudah memikirkan tentang ini. Etta sangat tahu keinginan belajarmu begitu besar. Pasti nanti ingin melanjutkan pendidikan bukan hanya sampai SMK. Untuk itu Etta juga sudah sedikit menabung untu biaya awal kuliahmu. Hanya saja Etta rasa jumlahnya masih kurang banyak”, ayah memalingkan wajahnya menghadap kepadaku.

Aku terkejut dengan apa yang ayah bilang. Tidak pernah terpikirkan bahwa ayah yang bahkan SD saja tidak lulus sampai memikirkan pendidikanku begitu rupa. Lantas kuberitahukan bahwa aku pun sudah menabung untuk cita-citaku itu. Aku katakan pada ayah bahwa tabunganku sudah cukup untuk membayar dana awal masuk kuliah dan biaya hidup selama satu tahun. Kuberitahukan rencanaku nanti akan melanjutkan membuat kerajinan seperti di sini untuk menutup kebutuhan yang lain sambil mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan.

Ayah tersenyum memandangku. Bilang bahwa dia bangga aku sudah berpayah berusaha menggapai mimpi sampai sejauh itu. Aku memeluk ayahku erat bilang kepadanya bahwa aku memiliki panutan jempolan untuk urusan berjuang. Dia lah panutan itu. Perlahan ayah melepaskan pelukanku, menepuk pelan bahuku.

Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, itu salah satu pepatah yang sering Etta dengar dari kakekmu dan Etta ukir di lambung perahu milik Etta. Artinya layarku sudah terkembang, keudiku sudah terpasang. Kamu sudah punya mimpi dan dana untuk mencapai itu. Sekarang tinggal perjuangan untuk bisa masuk ke universitas yang kamu mau. InshaAllah Etta akan mendukung apapun keinginanmu. Berusaha sebaik mungkin agar cita-citamu tercapai”, ayah menepuk pundakku pelan lalu beranjak ke belakang menyiapkan peralatan untuk melaut sebentar lagi.

Aku mendesah lega. Ternyata ayah mendukung keinginanku untuk melanjutkan kuliah, dan menabung untuk menambah dana kuliahku nanti. Kukepalkan tangan menggenggam semangat. Aku berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai mimpiku. Aku berjanji akan merekahkan senyum ayahku karena bangga anak laki-lakinya bisa menjadi seseorang yang bermanfaat.

Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students