“PURA BABBARA’ SOMPEKKU, PURA TANGKISI’
GOLIKKU”
Kutatap lagi barisan huruf dari ukiran kayu
yang menempel lekat di badan perahu milik ayah yang mulai lapuk dan menguning.
Ada rasa yang tak bisa aku definisikan meluber dari degupan jantung. Rindu,
hanya itu yang mungkin bisa kunamai untuk perasaan yang campur aduk tak
menentu.
Deburan ombak pelan menggoyang perahu.
Mengombang-ambingkan dengan gerakan yang membuatku semakin tergugu dalam
dudukku. Sengaja aku datang kali ini, pada senja yang mulai pulih. Kilatan
jingga menghias langit barat, penuh. Aku memilih senja untuk menemaniku,
mendulang kenangan yang sudah lapuk.
***
Semesta masih gelap saat ayah
menggoyang-goyang tubuhku. Aku masih teramat sangat mengantuk setelah semalam
baru beranjak tidur setelah jam 11 malam karena menyelesaikan tugas membuat
kreasi produk kewirausahaan untuk dijual di sekolah besok. Aku memutuskan
membuat beberapa kerajinan dari benda-benda yang kudapat dari pantai.
“Pang,
ayo cepat bangun, Etta sudah siap
berangkat. Kau kunci lagi pintunya baru tidur lagi”, ayah semakin kencang
menggoyang tubuhku. Khawatir akan terlambat melaut dan tidak mendapatkan ikan.
“Etta,
Ippang barusan tidur sudah dibangunkan, masih ngantuklah”, aku mengucek mataku
dan dengan gontai melangkah ke pintu depan. Ayah sudah berada di luar rumah
dengan jaring di atas punggungnya. Kedua tangannya penuh dengan peralatan untuk
mencari ikan. Segera kucium punggung tangannya dan kembali ke dalam rumah untuk
melanjutkan tidurku.
Aku sudah terbiasa ditinggal ayah setiap
tengah malam untuk melaut. Sesekali aku ikut saat libur. Sekedar membantu
meringankan tugas ayah. Ayah melaut seorang diri dengan menggunakan perahu warisan
dari kakekku. Ayah memang Bugis sejati. Laut adalah jiwanya, seluruh hidupnya
dihabiskan di laut. Sejak masih sangat belia. Ibu sudah lama tiada, sejak
melahirkan adikku, Mariam. Maka segala pekerjaan rumah harus bisa kulaksanakan
bersama dengan adikku.
Bangun pagi langsung mengisi bak mandi dengan
air yang kutimba dari sumur di ujung desa. Lalu membersihkan rumah. Sedangkan Mariam
bertugas mencuci dan menghangatkan makanan yang sudah dibuat ayah semalam. Ayah
selalu memasak makanan untuk kami di malam hari sebelum berangkat melaut. Sejak
ibu meninggal ayah mengurus kami sendirian. Dia bilang perah berjanji akan
merawat kami dengan baik, jadi ayah tak pernah alpa menyiapkan makanan untuk
sarapan dan makan siang kami, selelah apapun dia.
“Kak ayo sarapan, sudah selesai kan nimba
airnya?”, Mariam berteriak dari meja makan, di tangannya ada satu piring ikan
goreng. Aku yang baru saja selesai menimba air langsung duduk di meja makan. Lapar.
Ada tumis sayur dan sambal sebagai pendamping ikan goreng yang dibawa Mariam
tadi. Langsung kuisi piringku penuh-penuh.
“Kata ayah mungkin hari ini nggak pulang,
ayah mau melaut sedikit jauh, angin kencang membuat ikan jarang”, Mariam
membawa piring kotor untuk dicuci ke belakang.
Kalau ayah tidak pulang berarti tugasku
bertambah satu, menyiapkan makanan untuk esok hari. Mariam yang masih SMP belum
diberi kepercayaan untuk menyiapkan makanan untuk kami. Jadi nanti sepulang
sekolah aku harus mampir ke warung untuk membeli sayur. Untungnya masih ada
persediaan ikan di box yang bisa dimasak.
Aku segera berangkat bersama Mariam ke
sekolah sambil menenteng kerajinan tangan yang semalam kubuat. Setiap hari
kubonceng Mariam dengan satu-satunya sepeda yang kami punya. Lalu melanjutkan
perjalanan ke SMK yang ada di kota. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai ke
sana.
***
Senyum tak lepas dari bibirku saat sampai di
rumah. Mariam memandang ke arahku, namun tak kuindahkan. Aku sedang bahagia
karena semua kerajinan yang aku buat ludes diborong oleh Pak Ahmad, guru
kesenianku. Sedari kecil memang aku sudah sangat suka dengan kerajinan. Dan ayah
bilang memang aku berbakat. Sering aku iseng membuat apa saja dari bahan-bahan
yang kutemukan di laut saat sedang senggang menunggu ayah datang.
Ada uang 50 ribu di katong hasil penjualan
kerajinan tadi. Nanti akan kutabung untuk menggenapi dana untuk kuliahku nanti.
Terus terang saja memang aku sangat berambisi untuk bisa melanjutkan sekolah. Cita-citaku
untuk bisa melihat dunia tidak akan bisa kuraih jika aku hanya berdiam di desa
pesisir pantai ini. Tapi aku tahu ayah tidak akan punya uang untuk
menyekolahkanku, jadi sejak SD aku mengumpulkan uang jajan dan uang hasil
berjualan kerajinan buah karyaku untuk misi ini. Kurang dua tahun lagi aku
lulus, sekarang dana yang terkumpul sudah lumayan menutupi sepertiga biaya
kuliah.
Ayah dan Mariam tak pernah tahu tentang
simpanan uangku. Sengaja setiap minggu aku langsung setorkan ke Bank tanpa
pernah bilang. Aku takut ayah akan sedih jika tahu aku tak pernah menggunakan
uang saku untuk jajan di sekolah. Nanti jika saatnya akan kuberitahukan tentang
mimpiku itu padanya. Saat ini cukuplah aku bisa membantu meringankan bebannya
dengan membantu menjaga rumah dan Mariam saat ayah tak ada. Menikmati pantai dengan
ombak yang memukul ringan di belakang rumah.
Mendadak sedih kalau baca tentang ayah yang melaut T_T
ReplyDeletesediiih aku terhanyut, lanjutkaaaan :)
ReplyDeletemampir jg ke blogku yaaa, jangan lupa follow :)
Oke kak
DeleteBagus tulisannya ^^
ReplyDeleteKeren kak
ReplyDeleteBagus sekali kakak, ceritanya inspirasi sekali
ReplyDelete#semangat